Senin, 04 April 2016

MAHASACCAKA SUTTA (khotbah besar kepada Sacca)

Sumber: Majjhima Nikaya, Mullapanasa Pali, Mahayamaka Vagga, 36
Nikhepa: Puchavasika (karena adanya permohonan Y.M Ananda)
Nidana: Dibabarkan oleh Sang Buddha sendiri kepada Saccaka yang merupakan putra dari Nigantha di Vesali di Hutan besar di aula beratap runcing yang mengenai pengembangan tubuh dan pikiran, beliau memberikan penjelasan yang mendetail tentang pencarian spiritual beliau sendiri.

Kamis, 31 Maret 2016

Canki sutta




Sumber    : Majjhima Nikaya, Majjhimapannasapali, Rajavagga, Canki       Sutta, Sutta  ke 95 dari 152 sutta
Nikkhepa : Dibabarkan karena ada pertanyaan dari seorang brahmana yang bernama Kapathika, mengenai Hymne-hymne berhmana kuno yang diturunkan melalui transmisi lisan dan koleksi-koleksi kitab.
Niddana    : dibabarkan oleh Sang Buddha dan Sangha para Bhikkhu di negeri Kosala di desa Brahmana Kosala yang bernama Opasada. Kepada Brahmana Kapathika.

Isi sutta:
Lima hal yng di hasilkan melalui dua cara yang di sini dan kini, lima hal tersebut yaitu:
1.    Keyakinan
2.    Persetujuan
3.    Tradisi lisan
4.    Pemikiran yang di nalarkan
5.    Penerimaan reflaktif tetntang suatu pandangan.

Jika seseorang memiliki keyakinan, maka dia melestarikan kebenaran jika dia berkata, keyakinan adalah demikian, tetapi dia belum sampai pada kesimpulan yang pasti, hanya ini yang benar, yang lainya salah.
Dengan cara ini ada pelestarian kebenaran. Tetapi sampai di sini belum ada penemuan kebenaran.

Seorang bhikkhu mungkin hidup bergantung pada suatu desa atau kota dimana perumah tanggga mendatangi bhikkhu tersebut berdasarkan 3 jenis keadaan:
                   a. Keserakahan
                   b. Kebencian
                   c. Keboddohan batin

Setelah menyelidiki bahwa bhikkhu tersebut bebas dari kondisi - kondisi seperti yang di atas kemudian dia menaruh keyakinan pada dirinya dipenuhi dengan keyakinan dia pun berkunjung pada bhikkhu tersebut dan menghormati beliau dan kemudian membuka telinga mendengarkan dhamma dan mengingatnya, memeriksa artinya kemudian dia memperoleh penerimaan reflektif.

Setelah memperoleh penerimaan reflektif, kemudian didalam dirinya muncul semangat  setelah semangat muncul dia pun menerapkan kemauanya dan kemudian mencermati lalu dia pun berjuang karena dia berjuang dengan mantap dia mewujudkan melalui tubuhnya kebenaran tertinggi dan melihatnya dengan kebijaksanaan dengan demikian ada penemuan kebenaran.
Namun belum ada pencapaian akhir pada kebenaran. Pencapaian akhir pada kebenaran terletak pada:
                   a. Pengulangan
                   b. Pengembangan, dan
                   c. Pengetahuan.

Hal yang paling membantu untuk pencapaian akhir pada kebenaran
           a. Perjuangan                                       pengamatan yang cermat
           b. Pengmatan yang cermat                     penerapan kemauaan
           c. Penerapan kemauan                           semangat
           d. Semangat                                         penerimaan reflektif
           e. Penerimaan reflektif                           pemeriksaan arti
           f. Pemeriksaan arti                                 mengingat ajaran
           g. Mengingat ajaran                               mendengar dhamma
           h. Mendengar dhamma                          membuka telinga
           i. Membuka telinga                                menghormat
           j. Menghormat                                      mengunjungi
           k. Mengunjungi                                     keyakinan

                        

Senin, 28 Maret 2016

Upali Sutta



Latar belakang
ž  Sumber: Sutta Pitaka Majjhima Nikaya III, Majjhimapannasapali, Sutta ke 56.
ž  Niddana: di Nalanda di Hutan Mangga milik Pavarika.
ž  Nikkepa: Pucavasikha (adanya pertanyaan dari Niganta Digga Tapasi dan Upali)

Isi Sutta
q  Buddha: “Tapassi, berapa banyak jenis tindakan yang dijelaskan oleh Nigantha Nataputta untuk pelaksanaan tindakan jahat, untuk perbuatan tindakan jahat?”
q  Tapassi: “Sahabat Gotama, Nigantha Nataputta tidak biasa menggunakan penjelasan ‘tindakan, tindakan’; Nigantha Nataputta biasanya menggunakan penjelasan ‘tongkat, tongkat.”
3 Tongkat
ž  tongkat jasmani         
ž  tongkat ucapan
ž  tongkat mental

Buddha: “Tongkat manakah yang dijelaskan oleh Nigantha Nataputta sebagai yang paling pantas dicela untuk pelaksanaan tindakan jahat?????”

3 jenis tindakan untuk pelaksanaan tindakan jahat
ž  Tindakan jasmani
ž  Tindakan ucapan
ž  Tindakan mental 
 
Tapassi: tindakan yang mana yang engkau jelaskan sebagai yang paling pantas dicela untuk pelaksanaan tindakan jahat????

Persis seperti pencampur tuak dapat melempar saringan pada sudut-sudutnya dan menggoncangkannya ke bawah dan menggoncangkannya ke atas serta memukulnya ke sana kemari, demikian pula di dalam perdebatan itu pun saya akan menggoncang petapa Gotama ke bawah  dan menggoncangkannya ke atas serta memukulnya ke sana kemari.

Upali berdebat dg Buddha.
Upali:  “Saya akan berdebat dengan landasan kebenaran, Yang Mulia, jadi marilah kita melakukan percakapan mengenai hal ini.”
Buddha: “Perumah-tangga, jika engkau akan berdebat dengan landasan kebenaran, kita dapat melakukan percakapan mengenai hal ini.
ž  “Bagaimana pendapatmu, perumah-tangga? Di sini, seorang anggota suku Nighanta mungkin sengsara, menderita, dan sakit keras [menderita suatu penyakit yang membutuhkan pengobatan dengan air dingin, namun sumpahnya melarang hal ini]. Mungkin dia menolak air dingin [walaupun secara mental dia menginginkannya], dan hanya menggunakan air panas [yang diizinkan, sehingga dia menjaga sumpahnya secara jasmani dan ucapan]. Karena dia tidak mendapat air dingin, dia mungkin mati. Nah, perumah-tangga, menurut penjelasan Nigantha Nataputta, di manakah [terjadinya] tumimbal-lahir orang itu?”
ž  “Yang Mulia, ada dewa yang disebut ‘terikat-pikiran’; orang itu akan terlahir di sana. Mengapa demikian? Karena ketika mati, dia masih terikat [oleh kemelekatan] didalam pikiran.”
ž  “Perumah-tangga, perumah-tangga, perhatikan bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak cocok dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, begitu pula, apa yang engkau katakan sesudahnya tidak cocok dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Namun engkau membuat pernyataan ini: ‘Saya akan berdebat dengan landasan kebenaran, Yang Mulia, jadi Marilah kita melakukan percakapan mengenai hal ini.’”
ž  “yang Mulia, walaupun Yang Terberkahi telah mengatakan demikian, namun tongkat jasmani adalah yang paling pantas dicela untuk pelaksanaan tindakan jahat, untuk perbutan tindakan jahat, dan tidak sebanyak tongkat ucapan dan tongkat mental.”
ž  “Bagaimana pendapatmu, perumah-tangga? Apakah kota Nalanda ini sukses dan sejahtera, apakah kota ini banyak dan padat penduduknya?”
ž  “Ya, Yang Mulia, itu benar.”
ž  “Bagaimana pendapatmu, perumah-tangga? Seandainya ada orang yang datang kemari sambil mengacungkan pedang dan berkata demikian: ‘Dalam satu saat, dalam sekejap, saya akan membuat semua makhluk hidup di kota Nalanda ini menjadi satu onggokan daging, menjadi satu tumpukan daging.’ Bagaimana pendapatmu,perumah-tangga, apakah orang itu akan bisa melakukannya?”
ž  “Yang Mulia, sepuluh, duapuluh, tigapuluh, empatpuluh, atau bahkan limapuluh orang tidak akan bisa membuat semua makhluk hidup di kota Nalanda ini menjadi satu onggokan daging, menjadi satu tumpukan daging dalam satu saat, dalam sekejap, jadi apa yang diandalkan oleh satu orang yang remeh?”
ž  “Bagaimana pendapatmu, perumah-tangga? Seandainya ada petapa atau brahmana yang datang ke sini, yang memiliki kekuatan kesaktian dan mencapai penguasaan pikiran, dan dia berkata demikian: ‘Saya akan mengubah kota Nalanda ini menjadi abu dengan satu tindakan mental kebencian.’ Bagaimana pendapatmu, perumah-tangga, apakah orang itu akan bisa melakukannya?”
ž  “Yang Mulia, petapa atau brahmana yang memiliki kekuatan kesaktian dan mencapai penguasaan pikiran seperti itu akan dapat mengubah sepuluh, duapuluh, tigapuluh, empatpuluh, atau bahkan limapuluh kota Nalanda ini menjadi abu dengan satu tindakan mental kebencian, jadi apa yang diandalkan oleh satu kota Nalanda yang kecil?”
ž  “Perumah-tangga, perumah-tangga, perhatikan bagaimana engkau menjawab! Apa yang engkau katakan sebelumnya tidak cocok dengan apa yang engkau katakan sesudahnya, begitu pula, apa yang engkau katakan sesudahnya tidak cocok dengan apa yang engkau katakan sebelumnya. Namun engkau membuat pernyataan ini: ‘Saya akan berdebat dengan landasan kebenaran, Yang Mulia, jadi Marilah kita melakukan percakapan mengenai hal ini.’”
ž  “yang Mulia, walaupun Yang Terberkahi telah mengatakan demikian, namun tongkat jasmani adalah yang paling pantas dicela untuk pelaksanaan tindakan jahat, untuk perbutan tindakan jahat, dan tidak sebanyak tongkat ucapan dan tongkat mental.”
ž  “Yang Mulia, saya merasa puas dan senang dengan perumpamaan pertama Yang Terberkahi. Walaupun demikian, tadinya saya pikir saya akan melawan Yang Terberkahi demikian karena saya ingin mendengar Yang Terberkahi memberikan berbagai solusi bagi persoalan itu. Luar biasa, Guru Gotama! Luar biasa, Guru Gotama!
ž  Guru Gotama telah membuat Dhamma menjadi jelas dengan banyak cara, seakan-akan Beliau menegakkan kembali apa yang tadinya terjungkir-balik, mengungkapkan apa yang tadinya tersembunyi, menunjukkan jalan bagi orang yang tersesat, atau memberikan penerangan di dalam kegelapan bagi mereka yang mempunyai mata sehingga dapat melihat bentuk. Saya pergi pada Guru Gotama untuk perlindungan dan pada Dhamma dan pada Sangha para bhikkhu. Sejak hari ini biarlah Guru Gotama menerima saya sebagai umat yang telah pergi kepada Beliau untuk perlindungan sepanjang hidup saya.”

KOSAMBIYA SUTTA (Suku Kosambi)



Sumber :   Majjhima Nikaya, Mulapannasapali, Culayamaka Vagga, Kosambiya Sutta (48)
Nikhepa:  Athukpatika.
Niddana: dibabarkan oleh Sang Buddha kepada para bhikhu di Taman Ghosita. Para bhikhu dan umat awam di Kosambi terpecah belah karena perselisihan, kemudian Sang Buddha menjelaskan mengenai enam sifat yang menciptakan cinta kasih, rasa hormat, dan menyebabkan persatuan.
Sang Buddha juga menjelaskan Mahapaccavekkhananana

Minggu, 27 Maret 2016

Kinti Sutta (apa pendapatmu tentang aku???)





Majjhima Nikaya, uparipannāsapāli, devadahavagga, Sutta ke 103.


Kinti  Sutta ini dibabarkan karena  kemauan sang Buddha sendiri untuk membabarkan dhamma.


Kinti Sutta ini dibabarkan oleh sang Buddha kepada para bhikkhu di Kusinara, hutan persembahan, berkenaan dengan bagaimana para bhikkhu dapat menyelesaikan perbedaan pendapat tentang dhamma.


Rabu, 23 Maret 2016

Pandangan Sang Buddha tentang makan daging




Pandangan Sang Buddha Tentang Makan Daging
The Buddha’s View On Meat Eating

JIVAKA SUTTA

Makan daging adalah topik yang sangat sensitif. Ada beberapa pandangan tentang makan daging dan setiap pandangan mungkin benar pada batas tertentu, tetapi pandangan-pandangan tersebut mungkin saja tidak bijaksana. Dalam hal ini, kita harus mengesampingkan pandangan pribadi kita dan bersikap lebih terbuka untuk melihat pandangan Sang Buddha. Hal ini penting sekali karena Beliau adalah Tathagata yang mengetahui dan melihat.
Sutta dan Vinaya akan menjadi sumber referensi kita karena di AN 4.180, Sang Buddha berkata bahwa jika bhikkhu tertentu mengatakan sesuatu, yang diklaim sebagai sabda Sang Buddha, maka perkataan tersebut haruslah dibandingkan dengan Sutta (kumpulan khotbah) dan Vinaya (disiplin kebhikkhuan). Jika perkataan tersebut sesuai dengan Sutta dan Vinaya, maka kita dapat menerimanya sebagai sabda Sang Buddha.
Pertimbangan selanjutnya adalah Sutta dan Vinaya mana yang menjadi acuan kita. Walaupun berbagai mazab Buddhis mempunyai penafsiran yang berbeda tentang ajaran Sang Buddha, umumnya semua setuju bahwa lima Nikaya (Kumpulan-kumpulan), yaitu, Dīgha Nikāya, Majjhima Nikāya, Saṃyutta Nikaya, dan Aṅguttara Nikāya, dan beberapa buku dari Khuddhaka Nikaya, adalah khotbah-khotbah tertua otentik Sang Buddha. Lebih lanjut, buku-buku kumpulan tertua ini konsisten secara keseluruhannya, mengandung rasa pembebasan, sementara buku-buku belakangan terkadang berisikan ajaran yang kontradiktif.
Buku-buku Vinaya dari berbagai mazhab Buddhis semuanya cukup serupa dengan Vinaya Theravada. Untuk alasan ini, Sutta-sutta kumpulan tertua dan Vinaya Theravada akan menjadi sumber referensi kita.

Alasan Sang Buddha mengijinkan makan daging


BERBAGAI ALASAN SANG BUDDHA MENGIJINKAN MAKAN DAGING

Tidak Ada Kamma Langsung dari Pembunuhan
Sang Buddha berkata: “Ikan dan daging sepenuhnya murni (parisuddha) ….”artinya tidak ada kamma langsung (perbuatan yang disertai kehendak) dari pembunuhan jika binatang itu tidak dilihat, didengar atau dicurigai telah dibunuh secara khusus untuk seseorang. Tanpa tiga kondisi ini, ada unsur kamma tak bajik dan, oleh karenanya, daging jenis itu tidak diijinkan.
Walaupun Sang Buddha mengijinkan makan daging, Beliau berkata di AN 4.261 bahwa kita menciptakan kamma tak bajik jika kita secara langsung mendorong terjadinya pembunuhan, menyetujui dan berbicara dengan bangga akan hal itu. Karena itu di AN 5.177 Sang Buddha berkata bahwa seorang umat awam tidak boleh berdagang daging, yang dijelaskan di kitab komentar sebagai pengembangbiakan dan menjual babi, ternak, ayam dan lain sebagainya untuk disembelih. Demikian pula, tidak diijinkan untuk memesan, misalnya sepuluh ekor ayam untuk keesokan harinya jika sejumlah binatang tersebut dimaksudkan disembelih untuk seseorang.

Vegetarian Tidak Cocok dengan Cara Hidup Para Bhikkhu Buddhis
Seorang bhikkhu seyogianya pergi meminta sedekah (mengemis) untuk makanannya kecuali dia (i) diundang untuk bersantap, (ii) makanan itu dibawa ke Vihara, atau (iii) makanan itu dimasak di Vihara. Dia tidak diijinkan untuk memasak makanan, menyimpan makanan untuk keesokan harinya, atau melibatkan diri dalam kegiatan bercocok tanam untuk menyokong dirinya sendiri. Dengan begitu, mengemis adalah salah satu dari dasar /landasan dari cara hidup para bhikkhu Buddhis.
Hal ini dapat dilihat di suatu negara Buddhis (misalnya Thailand) dimana seorang bhikkhu mempunyai kebebasan dan dukungan untuk sepenuhnya berlatih sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Di sana kita melihat bukan hanya para bhikkhu tradisi kehutanan yang pergi meminta sedekah tetapi juga para bhikkhu dari kota kecil dan besar mengemis makanan setiap hari. Karena seorang pengemis tidak pantas memilih-milih, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, vegetarianisme tidak cocok dengan cara hidup para bhikkhu Buddhis yang mungkin merupakan alasan lain mengapa Sang Buddha menolak permintaan Devadatta seperti yang disebutkan sebelumnya.