Pandangan
Sang Buddha Tentang Makan Daging
The Buddha’s
View On Meat Eating
JIVAKA SUTTA
Makan daging adalah
topik yang sangat sensitif. Ada beberapa pandangan
tentang makan daging dan setiap pandangan mungkin benar pada batas tertentu,
tetapi pandangan-pandangan tersebut mungkin saja tidak bijaksana. Dalam hal
ini, kita harus mengesampingkan pandangan pribadi kita dan bersikap lebih
terbuka untuk melihat pandangan Sang Buddha. Hal ini penting sekali karena
Beliau adalah Tathagata yang mengetahui dan melihat.
Sutta dan Vinaya akan menjadi sumber
referensi kita karena di AN 4.180, Sang Buddha berkata bahwa “jika
bhikkhu tertentu mengatakan sesuatu, yang diklaim sebagai sabda Sang Buddha,
maka perkataan tersebut haruslah dibandingkan dengan Sutta (kumpulan khotbah)
dan Vinaya (disiplin kebhikkhuan)”. Jika
perkataan tersebut sesuai dengan Sutta dan Vinaya, maka kita dapat menerimanya
sebagai sabda Sang Buddha.
Pertimbangan selanjutnya adalah Sutta
dan Vinaya mana yang menjadi acuan kita. Walaupun
berbagai mazab Buddhis mempunyai penafsiran yang berbeda tentang ajaran Sang
Buddha, umumnya semua setuju bahwa lima Nikaya
(Kumpulan-kumpulan), yaitu, Dīgha Nikāya, Majjhima Nikāya, Saṃyutta Nikaya, dan
Aṅguttara Nikāya, dan beberapa buku dari Khuddhaka Nikaya, adalah
khotbah-khotbah tertua otentik Sang Buddha. Lebih lanjut, buku-buku kumpulan
tertua ini konsisten secara keseluruhannya, mengandung rasa pembebasan,
sementara buku-buku belakangan terkadang berisikan ajaran yang kontradiktif.
Buku-buku Vinaya dari berbagai mazhab
Buddhis semuanya cukup serupa dengan Vinaya Theravada. Untuk alasan ini,
Sutta-sutta kumpulan tertua dan Vinaya Theravada akan menjadi sumber referensi
kita.
REFERENSI
SUTTA
Majjhima
Nikāya 55
Khotbah ini penting sekali karena
disini Sang Buddha menyatakan dengan jelas pendapat Beliau tentang makan
daging.
Tabib Raja, Jivaka Komarabhacca,
datang mengunjungi Sang Buddha. Setelah memberi penghormatan, dia berkata:
“Yang Mulia, saya telah mendengar hal ini: ‘Mereka menyembelih makhluk hidup
untuk Samana Gotama (yaitu Sang Buddha); Samana Gotama dengan sadar memakan
daging yang dipersiapkan kepadanya dari binatang yang dibunuh untuk
dirinya’...”; dan bertanya apakah hal ini memang benar.
Sang Buddha menyangkali hal ini,
menambahkan “Jivaka, saya nyatakan bahwa dalam tiga hal daging tidak diijinkankan untuk dimakan: apabila dilihat,
didengar atau dicurigai (bahwa makhluk hidup tersebut telah secara khusus
disembelih untuk dirinya) ... Saya nyatakan bahwa dalam tiga hal daging
diijinkan untuk dimakan: ketika tidak dilihat, didengar, atau dicurigai (bahwa
makhluk hidup tersebut telah secara khusus disembelih untuk dirinya) ....”
Lebih lanjut, Sang Buddha menambahkan: “Jika seseorang menyembelih suatu makhluk
hidup untuk Tathagata (yaitu Sang Buddha) atau para siswanya, dia menimbun
banyak kamma buruk dalam lima hal ... (i) Ketika dia berkata: ‘Pergi dan
giring makhluk hidup itu’ ... (ii) Ketika makhluk hidup itu menderita kesakitan
dan kesedihan ketika dijerat dengan lehernya yang terikat ... (iii) Ketika dia
berkata: ‘Pergi dan sembelihlah makhluk hidup itu’ ... (iv) Ketika makhluk
hidup itu mengalami kesakitan dan kesedihan karena disembelih ... (v) Ketika
dia mempersembahkan kepada Tathagata atau para siswanya dengan makanan yang
tidak diijinkan .... ”
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa
Sang Buddha membedakan antara daging yang diijinkan[1] dengan tiga kondisi dan
daging yang tidak diijinkan. Ini adalah kriteria yang paling penting sehubungan
dengan makan daging.
Aṅguttara
Nikāya 8.12
Jendral Siha, seorang pengikut
Nigantha, beralih ke ajaran Buddha setelah dia belajar Dhamma dari Sang Buddha.
Dia mengundang Sang Buddha dan
rombongan bhikkhu ke rumahnya hari berikutnya untuk bersantap, dan menyediakan
daging dan makanan lainnya. Para Nigantha, yang cemburu karena seorang umat
awam yang terkemuka dan berpengaruh telah pergi ke perkemahan Buddha, menyebarkan
rumor bahwa Jendral Siha telah membunuh seekor binatang besar dan memasaknya
untuk samana Gotama, “... dan samana Gotama akan memakan daging tersebut,
mengetahui bahwa daging itu memang dimaksudkan untuk dirinya, perbuatan itu
dilakukan untuk kepentingannya.’
Ketika berita ini sampai ke telinga Jendral, dia menolak
tuduhan mereka, berkata: “ ... Sudah lama tuan–tuan yang terhormat ini
(Nigantha) sudah berniat untuk meremehkan Buddha ... Dhamma ... Sangha: tetapi
mereka tidak dapat mengganggu Yang Terberkahi dengan fitnahan kejam, kosong,
bohong, yang tak benar. Tidaklah demi menopang hidup, kita dengan sengaja
merampas hidup makhluk manapun.
Ini adalah salah satu khotbah yang
dengan jelas menunjukkan bahwa Sang Buddha dan bhikkhunya makan daging. Juga,
kita lihat bahwa daging dari binatang yang sudah mati ketika dibeli, diijinkan
untuk dimakan, tetapi tidak diijinkan apabila binatangnya masih hidup.
Aṅguttara
Nikāya 5.44
Ini tentang seorang umat awam, Ugga,
yang mempersembahkan beberapa pilihan makanan yang baik untuk Sang Buddha: di
antaranya adalah daging babi yang dimasak dengan buah jujube yang diterima oleh
Sang Buddha. Sekali lagi, ini jelas bahwa Sang Buddha dan para siswanya makan
daging.
Sutta Nipata
2.2
Disini Sang Buddha mengingat kembali
suatu peristiwa pada kehidupannya yang lampau pada masa Buddha Kassapa. Buddha
Kassapa adalah gurunya saat itu.
Pada suatu ketika saat seorang petapa
sekte luar bertemu dengan Buddha Kassapa dan mencacinya karena makan daging,
yang dikatakannya sebagai noda dibandingkan dengan konsumsi makanan vegetarian.
Buddha Kassapa membalas: “Membunuh
... melukai .... mencuri, berbohong, menipu ... berzinah; inilah noda. Bukan
makan daging.
... Mereka yang kasar, sombong, memfitnah, curang, jahat
... kikir ... inilah noda. Bukan makan daging.
... Kemarahan, keangkuhan, sifat keras kepala,
kebencian, penipuan, keirihatian, pembualan ... inilah noda. Bukan makan
daging.
... Mereka yang bermoral buruk, .... dengki ... congkak
... menjadi orang yang paling keji, melakukan perbuatan demikian, inilah noda.
Bukan makan daging.”
REFERENSI
VINAYA
Patimokkha:
Pacittiya 39
Dalam disiplin kebhikkhuan, seorang
bhikkhu tidak diijinkan untuk meminta makanan khusus tertentu. Tetapi, sebuah
pengecualian diijinkan di Patimokkha (peraturan kebhikkhuan) ketika bhikkhu itu
sakit. Dalam keadaan ini, bhikkhu diijinkan untuk meminta produk dari susu,
minyak makan, madu, gula, ikan, daging ... Dengan jelas, ikan dan daging
diijinkan untuk para bhikkhu.
Buku
Kedisiplinan: Buku Keempat[2]
Dalam Mahavagga, sepuluh jenis daging
dilarang bagi para bhikkhu: manusia, gajah, kuda, anjing, hena, ular, beruang,
singa, harimau, dan macan tutul. Kita dapat menyimpulkan dari sini bahwa daging
dari binatang lain diijinkan, dengan terpenuhinya tiga kondisi untuk ‘daging yang diijinkan’, misalnya daging
babi, daging sapi, ayam, dan lain sebagainya.
Buku
Kedisiplinan : Buku Keempat[3]
Sup daging yang jernih diijinkan bagi
bhikhhu yang sakit.
Buku
Kedisiplinan : Buku Pertama[4]
Beberapa bhikkhu menuruni lereng dari
Puncak Burung Nasar. Mereka melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh singa,
menyuruh umat memasaknya dan memakannya. Di lain waktu, bhikkhu yang lain
melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh harimau ... sisa hewan yang mati
terbunuh oleh macan tutul ... dan lain sebagainya ... menyuruh umat memasaknya
dan memakannya. Kemudian para bhikkhu ragu apakah itu sudah termasuk mencuri.
Sang Buddha memberikan pengecualian kepada mereka dengan mengatakan tidak ada
pelanggaran dalam mengambil apa yang menjadi milik binatang. Sekali lagi, di
sini kita melihat bahwa para bhikkhu makan daging dan Sang Buddha tidak
mengkritik atau melarang hal itu.
Buku
Kedisiplinan : Buku Kedua[5]
Ini adalah kejadian ketika Arahat
bhikkhuni Uppalavanna ditawarkan sebagian daging matang. Keesokan paginya,
setelah mempersiapkan daging di biara wanita, dia pergi ketempat dimana Sang
Buddha sedang tinggal untuk mempersembahkan kepadanya. Seorang bhikkhu,
mewakili Sang Buddha, menerima persembahan itu dan mengatakan bahwa Uppalavanna
telah menyenangkan Sang Buddha.
Jelaslah bahwa Sang Buddha memakan daging; apabila
tidak, Arahat bhikkhuni Uppalavanna tidak akan mempersembahkannya.
Buku
Kedisiplinan : Buku Kelima[6]
Bhikkhu Devadatta merencanakan untuk
memecah-belah komunitas para bhikkhu dengan meminta Sang Buddha untuk
menetapkan lima aturan, salah satunya adalah para bhikkhu tidak diijinkan makan
ikan dan daging.
Sang Buddha menolak, dengan berkata : “Ikan dan daging sepenuhnya murni
berdasarkan tiga hal: jika tidak dilihat, didengar atau dicurigai (telah
dibunuh secara khusus untuk seseorang).”
Sang Buddha bersabda bahwa seorang bhikkhu harus mudah
disokong. Jika seorang bhikkhu menolak untuk memakan jenis makanan tertentu
(baik daging maupun sayuran) maka dia tidak mudah disokong.
BERBAGAI
ALASAN SANG BUDDHA MENGIJINKAN MAKAN DAGING
Tidak Ada
Kamma Langsung dari Pembunuhan
Sang Buddha berkata: “Ikan dan daging
sepenuhnya murni (parisuddha) ….”artinya tidak ada kamma langsung (perbuatan
yang disertai kehendak) dari pembunuhan jika binatang itu tidak dilihat,
didengar atau dicurigai telah dibunuh secara khusus untuk seseorang. Tanpa
tiga kondisi ini, ada unsur kamma tak bajik dan, oleh karenanya, daging jenis
itu tidak diijinkan.
Walaupun Sang Buddha mengijinkan
makan daging, Beliau berkata di AN 4.261 bahwa kita menciptakan kamma tak bajik
jika kita secara langsung mendorong terjadinya pembunuhan, menyetujui dan
berbicara dengan bangga akan hal itu. Karena itu di AN 5.177 Sang Buddha
berkata bahwa seorang umat awam tidak boleh berdagang daging, yang dijelaskan
di kitab komentar sebagai pengembangbiakan dan menjual babi, ternak, ayam dan
lain sebagainya untuk disembelih. Demikian pula, tidak diijinkan untuk memesan,
misalnya sepuluh ekor ayam untuk keesokan harinya jika sejumlah binatang
tersebut dimaksudkan disembelih untuk seseorang.
Vegetarian
Tidak Cocok dengan Cara Hidup Para Bhikkhu Buddhis
Seorang bhikkhu seyogianya pergi
meminta sedekah (mengemis) untuk makanannya kecuali dia (i) diundang untuk
bersantap, (ii) makanan itu dibawa ke Vihara, atau (iii) makanan itu dimasak di
Vihara. Dia tidak diijinkan untuk memasak makanan, menyimpan makanan untuk
keesokan harinya, atau melibatkan diri dalam kegiatan bercocok tanam untuk
menyokong dirinya sendiri. Dengan begitu, mengemis adalah salah satu dari dasar
/landasan dari cara hidup para bhikkhu Buddhis.
Hal ini dapat dilihat di suatu negara
Buddhis (misalnya Thailand) dimana seorang bhikkhu mempunyai kebebasan dan
dukungan untuk sepenuhnya berlatih sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Di sana
kita melihat bukan hanya para bhikkhu tradisi kehutanan yang pergi meminta
sedekah tetapi juga para bhikkhu dari kota kecil dan besar mengemis makanan
setiap hari. Karena seorang pengemis tidak pantas memilih-milih, seperti yang
sudah disebutkan sebelumnya, vegetarianisme tidak cocok dengan cara hidup para
bhikkhu Buddhis yang mungkin merupakan alasan lain mengapa Sang Buddha menolak
permintaan Devadatta seperti yang disebutkan sebelumnya.
Argumentasi
Permintaan dan Penyediaan
Beberapa orang beragumen bahwa
walaupun dengan tiga kondisi yang disebutkan sebelumnya, seseorang pantas
dicela karena makan daging menyebabkan adanya permintaan yang harus diimbangi
dengan penyediaan dengan pembunuhan binatang. Dengan kata lain, makan daging
dalam keadaan apapun mendorong pembunuhan binatang.
Kita harus paham bahwa ada dua jenis sebab
dan akibat : (i) sebab dan akibat duniawi, di mana kehendak tidak dilibatkan,
dan (ii) kamma-vipaka Buddhis, atau tindakan yang disertai kehendak/kesengajaan
dan akibatnya. Makan daging yang diijinkan dengan tiga kondisi melibatkan hanya
sebab dan akibat duniawi, dan tidak ada kamma dari membunuh. Makan daging yang
tidak diijinkan melibatkan kamma tak bajik dan, karenanya, juga vipakanya. Oleh
karena itu, makan daging harus dibagi dengan jelas menjadi dua bagian.
Argumentasi permintaan dan penyediaan
tidaklah berlaku. Di bumi ini, sejumlah besar manusia dan binatang-binatang
yang tidak terhitung jumlahnya terbunuh oleh kendaraan bermotor setiap hari.
Hanya dengan mengendarai kendaraan atau bahkan duduk di atasnya, kita mendorong
industri motor untuk membuat lebih banyak kendaraan bermotor. Jika kita
menggunakan argumentasi permintaan dan penyediaan, maka hanya dengan
menggunakan kendaraan bermotor kita mendukung pembunuhan binatang-binatang yang
tak terhitung jumlahnya dan sejumlah besar manusia di jalanan setiap hari yang
lebih buruk daripada makan daging.
Memang benar bahwa kita secara tidak
langsung terlibat dalam pembunuhan binatang-binatang tetapi, seperti yang
dijelaskan sebelumnya, tidak ada kamma-vipaka dari membunuh. Keterlibatan tidak
langsung dalam pembunuhan adalah benar, jika kita makan daging maupun tidak,
dan merupakan sesuatu yang tidak terelakkan.
Vegetarianisme
juga Mendorong Pembunuhan.
Kita mendorong pembunuhan walau
sekalipun kita berpola makan vegetarian. Setiap hari monyet, tupai, rubah,
kumbang, dan hama perusak lainnya dibunuh karena mereka makan dari pohon buah
yang ditanam petani. Petani sayuran juga membunuh ulat bulu, keong, cacing,
belalang, semut, dan serangga lainnya, dll.. Seperti di Australia contohnya,
kangguru dan kelinci dibunuh setiap hari karena mereka memakan hasil panen.
Banyak barang yang umumnya
dimanfaatkan setiap orang dengan mengorbankan nyawa berbagai makhluk hidup.
Sebagai contoh, sutera dibuat dengan pengorbanan ulat sutera yang tidak
terhitung jumlahnya, dan lapisan lak putih dari serangga lak yang tidak
terhitung jumlahnya. Kosmetik mengandung
sejumlah besar unsur pokok hewani. Banyak zat tambahan makanan, seperti:
pewarna, penyedap, pemanis, juga menggunakan unsur pokok hewani. Produk keju
menggunakan dadih susu yang diekstrak dari perut anak sapi untuk mengentalkan
susu. Produk kulit dan bulu tentunya terbuat dari
kulit binatang yang dibunuh untuk tujuan ini. Film fotografis menggunakan
gelatin yang diperoleh dengan mendidihkan kulit, urat daging dan tulang dari
binatang. Bahkan pupuk untuk sayur-sayuran dan pohon
buah sering menggunakan tulang ikan kering yang digiling, dan sisa potongan ikan
lainnya. Penggunaan susu sapi dan madu juga melibatkan banyak kekejaman
terhadap binatang dan serangga terkait.
Semua ini menunjukkan bahwa sungguh
sulit untuk tidak terlibat dalam satu cara atau yang lain dalam kekejaman yang
terjadi pada binatang-binatang. Jadi
seandainya seseorang menjadi vegetarian, seseorang hendaknya merenungi hal di
atas dan menghindari kritik yang berlebihan terhadap mereka yang makan daging.
Binatang
Tetaplah Dibunuh Walaupun Semua Manusia Menjadi Vegetarian.
Walaupun semua manusia menjadi
vegetarian, binatang masih saja akan dibunuh. Ini karena binatang berkembang
biak sangat cepat daripada manusia sehingga mereka dengan mudah menjadi ancaman
bagi kelangsungan hidup manusia.
Sebagai contoh beberapa tahun yang
lalu, dibeberapa daerah Afrika, gajah adalah binatang yang dilindungi. Akan
tetapi, sekarang mereka telah berkembang-biak dengan cepat dan menjadi ancaman,
dan hukum perlindungan harus dilonggarkan untuk mengurangi jumlah mereka. Di
beberapa negara, anjing yang tidak terdaftar dibunuh agar tidak menjadi rabies
dan menyerang manusia. Bahkan kelompok perlindungan terhadap kekejaman binatang
membunuh jutaan anjing dan kucing dalam kandang setiap tahun karena akomodasi
yang tidak memadai. Di Amerika Serikat, setiap tahunnya 14 juta dibinasakan
dalam waktu seminggu setelah diselamatkan oleh kelompok kemanusiaan.
Pada akhirnya, pendapat bahwa
vegetarianisme mencegah pembunuhan binatang adalah tidak benar. Meskipun
demikian, adalah terpuji untuk berlatih vegetarianisme atas belas kasih, tetapi
tidak sampai menjadi ekstrim akan hal itu.
Setiap Orang
secara Tidak Langsung Terlibat dalam Pembunuhan Binatang
Apakah kita vegetarian atau
sebaliknya, kita semua secara tidak langsung terlibat dalam pembunuhan
binatang.
Area hutan yang luas harus digunduli
untuk perumahan karena kita ingin tinggal di dalam rumah. Ini mengakibatkan
kematian sejumlah besar binatang. Karena kita ingin menggunakan peralatan rumah
tangga dan peralatan serba canggih lainnya, lagi, area hutan yang luas digunduli
untuk lokasi-lokasi pabrik dan industri. Karena kita ingin menggunakan listrik,
sungai-sungai dibendung untuk pemanfaatan listrik tenaga air. Ini mengakibatkan
banjir di area hutan yang luas dengan mengorbankan hidup binatang. Karena
kita mengendarai kendaraan bermotor, binatang yang tak terhitung jumlahnya dan
sejumlah besar manusia terbunuh di jalanan setiap harinya.
Kemudian demi
keselamatan kita, anjing liar dibunuh agar tidak menjadi rabies. Dalam produksi
berbagai produk yang kita gunakan setiap hari, seperti: makanan, obat-obatan,
sutera, kosmetik, film, dan lain sebagainya., unsur pokok hewani digunakan
dengan mengorbankan hidup binatang.
Jika kita menggunakan argumentasi
permintaan dan penyediaan seperti yang dijelaskan sebelumnya maka kita tidak
seharusnya tinggal dalam rumah, atau menggunakan barang-barang rumah tangga
yang diproduksi pabrik, atau menggunakan tenaga listrik, atau mengendarai
mobil, dsbnya.
Perumpamaan
Pembunuhan Berseri
Jika ada
kasus pembunuhan berseri disuatu kota, dengan adanya sejumlah wanita yang telah
diperkosa kemudian dibunuh sehingga tidak ada wanita yang berani mengambil
resiko keluar malam. Seisi kota gempar dan penduduk menuntut agar pihak
berwenang menjalankan tugas mereka dan menangkap pembunuhnya. Jadi polisi, setelah
beberapa bulan berusaha keras, akhirnya menangkap dalangnya. Setelah
pemeriksaan panjang, hakim menjatuhkan hukuman mati pada dirinya. Pada hari
yang ditentukan, pembunuh dibawa ke ruang eksekusi dimana petugas eksekusi
menarik pengungkil untuk menghabisi nyawa si pembunuh.
Cerita ini menimbulkan pertanyaan:
“Siapa yang terlibat dalam kamma buruk dari pembunuhan manusia (yakni si
pembunuh berseri)?” Menurut hukum kamma-vipaka, petugas eksekusi melakukan
pelanggaran yang paling berat karena dia secara sengaja melakukan pembunuhan.
Berikutnya adalah hakim yang mengumumkan hukuman mati. Kedua orang ini secara
langsung terlibat dalam kamma pembunuhan atas eksekusi dari pembunuh berseri.
Polisi hanya terlibat secara tidak langsung dan tidak bertanggung jawab atas
eksekusinya. Bagaimana dengan penduduk? Pada dasarnya pembunuh berseri
dieksekusi untuk melindungi penduduk, yakni dieksekusi atas kebaikan penduduk,
atau dengan kata lain, penduduk adalah orang-orang yang diuntungkan atas
eksekusi tersebut. Jadi apakah penduduk bertanggung jawab atas keterlibatan
kamma pembunuhan? Tidak, karena mereka tidak meminta eksekusi atas pembunuh
berseri. Tetapi mereka turut terlibat apabila mereka meminta si pembunuh untuk
dieksekusi.
Skenario di atas serupa dengan
penyembelihan binatang untuk makanan. Orang yang menyembelih binatang tersebut
menanggung kamma pembunuhan yang paling berat. Orang yang membiarkan
binatang untuk disembelih juga terlibat dalam kamma pembunuhan. Mereka serupa
dengan hakim yang menjatuhkan hukuman pada orang tersebut untuk dieksekusi.
Tetapi orang yang membeli daging dari binatang yang sudah disembelih tidak
terlibat dalam kamma pembunuhan walaupun, serupa dengan penduduk kota diatas,
mereka adalah orang-orang yang diuntungkan. Akan tetapi jika seseorang memesan
daging dari binatang yang hidup untuk disembelih, maka ada keterlibatan dalam
pembunuhan.
Kesimpulan
Sang Buddha tidak mendorong kita
untuk makan daging atau menjadi vegetarian. Pilihan ini sepenuhnya tergantung
kepada kita. Pokok pentingnya adalah memperhatikan dengan baik petunjuk dari
Sang Buddha dalam MN 55 atas tiga kondisi untuk daging yang tidak diijinkan dan
yang diijinkan.
Seorang Bhikkhu tidak diijinkan untuk memasak dan harus
sepenuhnya tergantung pada persembahan dari para penyokong (umat awam). Bhikkhu
juga diharuskan agar mudah disokong dan dirawat. Karena bhikkhu tidak diijinkan
untuk meminta makanan tertentu (kecuali selama ia sakit), maka bhikkhu tidak
dapat memilih makanannya. Dia harus menerima apapun yang dipersembahkan.
Umat awam mempunyai lebih banyak kebebasan untuk memilih
makanan mereka, dan untuk umat awam adalah sepenuhnya tergantung pada pilihan
pribadi masing-masing untuk makan daging atau menjadi vegetarian. Untuk
alasan-alasan yang sudah dijelaskan sebelumnya, adalah penting untuk tidak
terlalu kritis terhadap orang lain terkait dengan apapun yang menjadi pilihan
kita.
Cara yang paling efektif untuk mengurangi pembunuhan dan
kekejaman di dunia adalah pemahaman akan ajaran Sang Buddha. Pada akhirnya,
penderitaan (dukkha) adalah karateristik dari kehidupan, dan cara untuk
mengakhiri penderitaan adalah dengan melatih Jalan Mulia Berunsur Delapan
ajaran Sang Buddha untuk keluar dari lingkaran kelahiran kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar